PATIH AMANGKUBHUMI KERAJAAN MAJAPAHIT (2)

Gajah Mada, adalah merupakan Patih Amangkubhumi yang keempat, yang menjabat setelah terjadinya peristiwa Sadeng (1331 M), dan gempa bumi Pabanyu Pindah, tepatnya sejak tahun Saka 1256 (1334 M) sampai dengan meninggalnya pada tahun 1364 M. Pengangkatan Gajah Mada sebagai Patih Amangkubhumi ini bersamaan dengan lahirnya putera Mahkota (Negarakertagama pupuh I/4) .

Nama Gajah Mada sebagai Patih Amangkubhumi tercatat di dalam Prasasti OJO LXXXIV (Oud-Javaansch-Oorkonden, Nagelaten transkripties van wijlen Dr. J.L.A. Brandes, uitgegeven door Dr. N.J. Krom, Batavia : Albrecht & Co, 's-Gravenhage : Martinus Nijhoff, 1913 -VBG,IX-), tidak bertarikh serta diketemukan di daerah Surabaya. Prasasti tersebut ditulis pada batu dan tersimpan di Museum Nasional, Jakarta dengan tanda D.38). Pada muka depan baris 14 terpahat : " .. rake Mapatih ring Majapahit pu Gajah Mada .." artinya Gajah Mada sebagai Patih di Majapahit bergelar rakai. Oleh karena prasasti tersebut dikeluarkan oleh Tribhuwanatunggadewi, maka prasasti tersebut seharusnya dikeluarkan setelah tahun 1334 M dan sebelum tahun 1351 M (pada waktu itu Dyah Hayam Wuruk masih menjadi raja muda di Kahuripan).
Pada awal jabatannya Gajah Mada mengucapkan sumpah yang fenomenal dan menggemparkan yang terkenal dengan Sumpah Palapa, yang diucapkannya di hadapan Sang Rani dan seluruh pembesar kerajaan Majapahit pada waktu itu.


Sumpah yang diucapkan Gajah Mada ini sangat menggemparkan, Arya Tadah, Kembar, Warak mengejek Gajah Mada sambil mencaci maki, banyak pula yang ikut mengejek dan tidak percaya, Jabung Tarewes dan Lembu Peteng tertawa terbahak-bahak. Gajah Mada merasa di hina, lalu turun dari paseban, memeluk kaki Sang Rani serta mengungkapkan kesedihan hatinya akibat hinaan dari Arya Tadah dan kawan-kawannya tersebut. Di luar penangkilan, Kembar dan Warak dimusnahkan oleh Gajah Mada. Itulah kesempatan yang baik untuk melampiaskan dendamnya kepada Kembar yang telah mendahuluinya mengepung Sadeng. 

Peristiwa Sumpah Palapa ini tidak tertulis di dalam kakawin Negarakertagama dan hanya diuraikan secara panjang lebar dalam kitab Pararaton. Hal ini dapat dimengerti karena kakawin Negarakertagama pada dasarnya adalah merupakan suatu puja-sastra yang bertujuan untuk mengagungkan kebesaran Dyah Hayam Wuruk sebagai raja Majapahit.

Gajah Mada meninggal pada tahun Saka 1286 (1364 M) sesuai dengan uraian Negarakertagama dalam pupuh LXX - LXXII. Gajah Mada meninggal ini setelah perayaan Sraddha untuk memperingati dua belas tahun meninggalnya Sri Rajapatni yang di candikan di Bayalangu.

Segera setelah patih Gajah Mada meninggal, Dyah Hayam Wuruk memanggil Dewan Pertimbangan Agung Majapahit (disebut juga Pahom Narendra yang terdiri dari ibunda Tribhuwanatunggadewi, ayahanda Sri Kertawardhana, bibinya Dyah Wiyah Rajadewi Maharajasa, pamannya Sri Wijayarajasa, adinda Bhre Lasem dan suaminya Sri Rajasawardhana, adinda Bhre Pajang dan suaminya Sri Singhawardhana), mengadakan musyawarah yang bermaksud untuk mencari pengganti Gajah Mada (lihat Negarakertagama pupuh LXXI), dan hasilnya adalah : Gajah Mada tidak akan diganti, Dyah Hayam Wuruk sendiri yang akan langsung memimpin pemerintahan baik sebagai Raja maupun sebagai Patih Amangkubhumi. Susunan kabinet dirubah dengan Empu Tandi diangkat sebagai wredha menteri (menteri sepuh); Empu Nala (pahlawan Pa-Dompo) diangkat sebagai menteri amancanegara dengan pangkat Tumenggung, Pati Dami, diangkat sebagai Yuwa menteri (menteri muda) yang bertugas mencatat perintah-perintah yang dikeluarkan oleh Sang Prabhu.

Dalam prasasti Sekar (tidak bertarikh dan tidak lengkap disiarkan oleh Dr. J.L.A. Brandes dalam T.B.G LII, 1911) yang diketemukan di daerah Sekar dekat Bojonegoro, mencatat nama Rakryan Rangga : Pu Dami, yang mahir dalam ilmu politik dan mempunyai pengetahuan yang luas tentang masa lampau, Rakryan Tumenggung : Pu Nala, bergelar Arya Wiramandalika, yang mengerikan keempat medan perjuangan dan pahlawan yang sudah banyak membinasakan musuh, pelindung orang utama dan pembunuh para durjana, Sang Arya Dewaraja : Pu Sridhara, pelindung bumi dan penuntut ilmu politik, bertugas membina suasana seluruh wilayah Jawadwipa dan Nusantara.


Penulis : J.B. Tjondro Purnomo ,SH

Bersambung  ..............


Komentar